Rabu, Agustus 05, 2015 disasterkid


Apa yang akan kita pikirkan pertama kali tentang permainan anak-anak? Bekel? Congklak? Gasing? Jika masih berpikiran seperti itu maka mungkin Anda merupakan generasi lawas. Mengapa? Saya yakin, kita semua sudah mengetahui jawabannya. Ya, anak-anak saat ini terutama anak yang hidup di kota besar sudah tidak lagi mau bermain permainan tradisional yang dulu seharusnya sering dimainkan oleh anak-anak. Sebabnya sudah tentu karena faktor perkembangan teknologi yang sangat pesat. Menurut data Lembaga riset Statista yang dirilis situs okezone.com, sebanyak 17 persen anak berusia di bawah delapan tahun di Amerika Serikat (AS) menggunakan komputer tablet atau smartphone setiap hari. Selain 17 persen anak menggunakan perangkat mobile, beberapa lainnya aktif dalam menggunakan komputer, bermain game mobile, bermain video game di konsol, dan membaca eBook. Sebelumnya juga diberitakan, lembaga studi lain merilis hasil survei bahwa 38 persen anak di bawah dua tahun sudah akrab dengan smartphone. Dua dari lima anak sudah diperkenalkan smartphone milik orang tuanya meski digunakan hanya sebagai mainan.


Riset diatas memang dilakukan di luar negeri, tapi bagaimanakah dengan keadaan anak-anak di dalam negeri kita sendiri? Sayangnya keadaan yang sama juga ditemukan di dalam negeri kita tercinta, bahkan berdasarkan pengalaman pribadi saya, seorang anak yang merupakan tetangga saya sendiri, diusianya masih balita (3 tahun), Ia sudah mahir memainkan komputer tablet dan smartphone. Mungkin di jaman globalisasi ini fenomena tersebut sudah biasa terjadi. Bahkan tidak sedikit orang tua yang berlomba-lomba membelikan gadget terbaru untuk buah hati mereka meskipun seharusnya umur anak-anak mereka belum pantas untuk memainkan gadget.

Tak banyak juga orang tua yang menyadari bahwa memberi gadget pada anak-anak mereka justru dapat mengancam masa depan anak itu sendiri, baik dari segi kesehatan, sosial maupun prestasi yang diraih anak tersebut. Berdasarkan situs kompas.com dai riset yang diprakarsai Abertawe Bro Morgannwg University (ABMU) Health Board, setelah jumlah anak yang dirawat akibat sakit leher dan tulang punggung meningkat dua kali lipat hanya dalam waktu enam bulan. Dalam risetnya, peneliti menemukan, 64 persen dari 204 responden anak berusia 7-18 tahun, menderita sakit punggung. Namun, hampir 90 persen tidak mengatakan kepada siapa pun terkait sakit yang diderita. Sementara itu, 72 persen anak usia sekolah dasar mengakui mengalami sakit punggung. Tidak hanya dari segi kesehatan, penggunaan gadget pada anak usia dini juga dapat menimbulkan dampak negatif pada bidang sosial, menurut data yang dilansir situs suaramerdeka.com, di Jepang, gejala kecanduan gadget ini dikenal sebagai hikikomuri, dan telah menjadi gejala sosial yang serius. Anak dengan hikikomuri cenderung menarik diri dari pergaulan dan interaksi dengan dunia nyata dan lebih memilih untuk berinteraksi di dunia maya. Mereka menjadi asosial. Di banyak daerah, Kantor Urusan Agama (KUA) mengalami lonjakan permintaan dispensasi nikah, yang diajukan oleh pasangan di bawah umur karena kehamilan di luar nikah. 

Perangkat komunikasi yang semakin user friendly disalahgunakan anak-anak untuk mengakses dan menyebarkan informasi yang belum pantas mereka konsumsi. Informasi itu membuat kedewasaan biologis seperti dikarbit, sementara kedewasaan emosional justru melambat. Rendahnya kedewasaan emosional itu dapat dilihat dari mudahnya para remaja menjadi galau oleh hal-hal yang remeh-temeh. Mereka mudah mengeluh dan putus asa pada persoalan sepele yang dihadapinya (suaramerdeka.com). Miris, ya itulah yang kata yang pantas menggambarkan keadaan generasi penerus saat ini. Di usia yang masih sangat belia mereka sudah dikenalkan oleh sesuatu yang dapat merusak diri mereka sendiri. KIta semua sepakat bahwa tidak selamanya teknologi terutama gadget memberikan dampak buruk bagi anak-anak. Jika dimanfaatkan secara tepat guna gadget justru akan memberikan keuntungan yang sangat besar bagi penggunanya. Sudah saatnya orang tua sadar dan peduli, karena semua berawal dari orang tua. Didikan orang tual-lah sebagai filter awal bagi anak-anaknya. Jika generasi penerus rusak, bagaimanakah dunia ini di masa depan?



(humbi)

0 comments :

Posting Komentar